Menebar Kasih Sayang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabada :
إِنَّمَا يَرْحَمُ اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ
Sesungguhnya Allah hanya menyayangi hamba-hambaNya yang penyayang (HR At-Thobrooni dalam al-Mu’jam al-Kabiir, dan dihasankan oleh Syaikh Albani dalam shahih Al-Jaami’ no 2377)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda
الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَانُ، اِرْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Para pengasih dan penyayang dikasihi dan di sayang oleh Ar-Rahmaan (Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang-pen), rahmatilah yang ada di bumi niscaya kalian akan dirahmati oleh Dzat yagn ada di langit” (HR Abu Dawud no 4941 dan At-Thirmidzi no 1924 dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam as-Shahihah no 925)
Kata dalam مَنْ sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah isim maushuul, yang dalam kadiah ilmu ushuul fiqh memberikan faedah keumuman. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya memerintahkan kita untuk merahmati orang yang sholeh saja… bahkan Nabi memerintahkan kita untuk merahmati seluruh manusia… dan bukan hanya manusia.. bahkan hewan-hewanpun termasuk di dalamnya.
Al-Munaawi rahimahullah berkata,
بِصِيْغَةِ الْعُمُوْمِ يَشْمَلُ جَمِيْعَ أَصْنَافِ الخَلاَئِقِ فَيُرْحَمُ البَرّ وَالفَاجِرُ وَالنَّاطِقُ والْمُبْهَمُ وَالْوَحْشُ وَالطَّيْرُ
“Sabda Nabi ((rahmatilah yang ada di bumi)) dengan konteks keumuman, mencakup seluruh jenis makhluk, maka mencakup rahmat kepada orang baik, orang fajir, orang yang berbicara, orang yang bisu, hewan dan burung” (Faidhul Qodiir 1/605)
Perhatikanlah para pembaca yang budiman… kita diperintahkan oleh Allah bukan hanya untuk merahmati manusia… bahkan kita diperintahkan untuk merahmati hewan…!!!
قال رجلٌ : يا رسول الله! إني لأذبح الشاة فأرحمُها، قال: ” والشَّاة إِنْ رَحِمْتَهَا، رَحِمَكَ اللهُ” مَرَّتَيْنِ
“Seseorang berkata : “Wahai Rasulullah, aku menyembelih seekor kambing lantas aku merahmatinya”, Rasulullah berkata, “Bahkan seekor kambing jika engkau merahmatinya maka Allah akan merahmati engkau”, Rasulullah mengucapkannya dua kali (HR Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrod dan dishahihkan oleh Syaikh Albani di as-Shahihah no 26)
Orang yang menyembelih seekor kambing tanpa ada rasa rahmat dengan mengasah parangnya di hadapan kambing tersebut misalnya, atau menyembelihnya dengan parang yang tidak tajam sehingga menyakiti kambing tersebut misalnya… tentu tidak sama dengan seseorang yang menyembelih kambing namun dengan rasa rahmat kepada sang kambing, sehingga ia berusaha menyembelih kambing tersebut dengan sebaik-baiknya. Orang yang merahmati kambing maka Allah akan merahmati orang tersebut, bahkan Rasulullah menegaskan hal ini sebanyak dua kali.
Bahkan dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
مَنْ رَحِمَ وَلَوْ ذَبِيْحَةً، رَحِمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang merahmati meskipun seekor sembelihan maka Allah akan merahmatinya pada hari kiamat” (HR Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrod dan dihasankan oleh Syaikh Albani)
Seseorang yang merahamati seekor sembelihan bukan hanya dirahmati oleh Allah di dunia, bahkan dirahmati oleh Allah pada hari kiamat kelak, hari dimana setiap kita membutuhkan kasih sayang Allah.
Bahkan jika seseorang merahmati seekor anjing… renungkanlah hadits ini
بَيْنَمَا كَلْبٌ يُطِيفُ بِرَكِيَّةٍ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ إِذْ رَأَتْهُ بَغِيٌّ مِنْ بَغَايَا بَنِي إِسْرَائِيلَ فَنَزَعَتْ مُوقَهَا فَسَقَتْهُ فَغُفِرَ لَهَا بِهِ
“Tatkala ada seekor anjing yang hampir mati karena kehausan berputar-putar mengelilingi sebuah sumur yang berisi air, tiba-tiba anjing tersebut dilihat oleh seorang wanita pezina dari kaum bani Israil, maka wanita tersebut melepaskan khufnya (sepatunya untuk turun ke sumur dan mengisi air ke sepatu tersebut-pen) lalu memberi minum kepada si anjing tersebut. Maka Allah pun mengampuni wanita tersebut karena amalannya itu” (HR Al-Bukhari no 3467 dan Muslim no 2245)
Jika merahamati seekor hewan maka mendatangkan rahmat Allah dan kasih sayang Allah maka bagaimana lagi jika kita merahmati sesama manusia ???
Merahmati seorang fajir
Perintah Allah untuk menebarkan kasih sayang berlaku umum bahkan mencakup seorang pelaku kemaksiatan –sebagaimana perkataan Al-Munaawi di atas-. Bukankah kita kasihan tatkala melihat seseroang yang terjerumus dalam kemaksiatan… kasihan kehidupannya yang pernuh dengan kegelapan di dunia, terlebih-lebih lagi jika akhirnya masuk ke dalam neraka jahannam. Bagaimana hati ini tidak tergerak untuk kasihan dan merahmatinya…??
Bagaimana hati ini tidak tergerak untuk berdakwah kepadanya…??
Bukankah sebagian kita dahulu juga seperti itu..?? bukankah sering kita menanti-nanti ada yang mendakwahi kita tatkala itu..?? sungguh hati ini sangat bersedih jika ternyata orang-orang sholeh malah menjauhi mereka para pelaku kemaksiatan… hanya bisa mencemooh tanpa berusaha mendakwahi mereka…!!!
Saya jadi teringat dengan tentang pengakuan seorang remaja yang saya dengar di Idzaa’atul Qur’aan Al-Kariim (Radio dakwah Arab Saudi). Remaja tersebut bercerita bahwa ia dahulunya adalah seorang pecandu morfin selama bertahun-tahun, dan ibunya selalu melarangnya untuk mengkonsumsi morfin, akan tetapi teguran sang ibu tidak pernah ia hiraukan. Hingga bertahun-tahun berlalu sang ibu tidak bosan-bosannya menasehati dengan penuh kelembutan dan kasih sayang adapun ia juga tidak bosan-bosannya tidak menghiraukan teguran sang ibu. Hingga akhirnya pada suatu hari di hari jum’at setelah ashar (yang merupakan waktu mustajab untuk berdoa sebagaimana pendapat sebagian ulama) maka sang ibu pun berdoa : “Yaa Allah sadarkanlah putraku atau cabutlah nyawanya agar ia berhenti dari kemaksiatannya“. Ternyata Allah mengabulkan doa sang ibu dan menyadarkannya dari kemaksiatan ini, hingga akhirnya iapun meninggalkan heroin. Demikian tutur sang pemuda.
Yang menjadi perhatian saya adalah di akhir tuturannya sang pemuda berkata, “Saya sering lewat di depan mesjid tatkala adzan dikumandangkan… dan saya tidak sholat, akan tetapi tidak seorang pun dari jama’ah masjid yang menegurku…!!!, bertahun-tahun lamanya.. tidak seorang pun dari mereka yang menegurku..!!”
Oleh karenanya para pembaca yang budiman kita juga semestinya berusaha untuk menebarkan rahmat dan kasih sayang meskipun kepada pelaku kemaksiatan dengan mendekatinya dan mendakwahinya semampu kita dengan cara yang selembut-lembutnya.
Merahmati pelaku bid’ah
Para pembaca yang budiman, termasuk pelaku kemaksiatan adalah pelaku bid’ah. Ketahuilah kebanyakan para pelaku bid’ah di zaman kita –terutama di tanah air kita- adalah orang-orang yang bodoh dan tidak paham dengan sunnah dan al-haq. Bahkan banyak diantara mereka yang sama sekali tidak mengenal dakwah sunnah, mereka mewarisi bid’ah yang mereka lakukan secara turun temurun.
Saya tidak berbicara tentang gembong-gembong bid’ah yang mengikuti hawa nafsu mereka sehingga nekad menolak atau mempelintir dalil-dalil demi melarisakan bid’ah mereka. Akan tetapi saya berbicara tentang mayoritas saudara-saudara kita yang terjerumus ke dalam bid’ah karena kejahilan dan ketidak tahuan mereka. Bukankah banyak diantara kita –bahkan sebagian besar kita- tidak mengenal sunnah sejak kecil?, akan tetapi mayoritas kita dahulu tenggelam di atas bid’ah sebagaimana kebanyakan masyarakat yang terjerumus dalam praktek-praktek bida’h. Bukankah kita mendapatkan hidayah dengan adanya seseorang salafy yang kemudian mendekat kepada kita sehingga kemudian menjelaskan sunnah kepada kita…??.
Oleh karenanya marilah kita merahmati para pelaku bid’ah dengan menyebarkan dakwah sunnah kepada mereka.
Syaikh Utsaimin berkata tentang para pelaku bid’ah:
وَهؤلاء الْمُخَرِّفُوْنَ مَسَاكِيْنُ، إِنْ نَظَرْنَا إِلَيْهِمْ بِعَيْنِ الْقَدْرِ؛ فَنَرَقَّ لَهُمْ، وَنَسْأَلُ اللهَ لَهُمُ السَّلاَمَةَ، وَإِنْ نَظَرْنَا إِلَيْهِمْ بِعَيْنِ الشَّرْعِ؛ فَإِنَّنَا يَجِبُ أَنْ نُنَابِذَهُمْ بِالْحُجَّةِ حَتىَّ يَعُوْدُوا إِلَى الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ
“Para pelaku khurofat tersebut kasihan mereka, jika kita memandang mereka dengan pandangan taqdir (bahwasanya semua terjadi dengan taqdir Allah-pen) maka kita kasihan mereka, dan kita memohon kepada Allah keselamatan bagi mereka. Jika kita memandang mereka dengan pandangan syari’at mak wajib bagi kita melawan mereka dengan hujjah agara mereka kembali kepada jalan yang lurus” (Al-Qoul Al-Mufiid 1/65)
Bukankah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga ia menyukai bagi saudaranya apa yang dia sukai untuk dirinya”
Bukankah kita senang jika kita berada di atas ketaatan kepada Allah…??, maka hendaknya kita juga senang jika saudara kita juga demikian dan meninggalkan kemaksiatan yang dilakukannya. Bukankah seorang muslim yang terjerumus dalam kemaksiatan atau bid’ah juga masih merupakan saudara kita sesama muslim???
Praktek Ibnu Taimiyyah dalam merahmati pelaku bid’ah
Seseorang yang ikhlash adalah seseorang yang bersikap sesuai dengan kehendak Allah, bukan bergerak dengan kehendak hawa nafsunya. Inilah orang yang berjiwa besar. Tidak sebagaimana praktek sebagian orang yang berjiwa kecil, sehingga jika mudah marah karena mengikuti hawa nafsunya. Bahkan terkadang menghembuskan kemarahannya tersebut di balik topeng membela agama.. wallahul musta’aan.
Lihatlah bagaimana praktek Ibnu Taimiyyah terhadap musuh-musuhnya para pelaku bid’ah.. sungguh pelajaran yang sangat luar biasa.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah berjihad dan membantah berbagai macam model bid’ah. Oleh karenanya kita dapati mayoritas kitab-kitab beliau adalah bantahan terhadap bid’ah-bid’ah terutama bid’ah-bid’ah yang berkaitan dengan aqidah. Sehingga banyak ahlul bid’ah yang memusuhi beliau… bahkan mereka berfatwa akan kafirnya Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah. Bahkan mereka berfatwa kepada Raja untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Akan tetapi… apakah Ibnu Taimiyyah pernah berfikir untuk membalas dendam jika ia mendapatkan kesempatan..??? perhatikanlah tiga kisah berikut ini:
Kisah pertama : Tentang Ibnu Taimiyyah dan sulthon Ibn Qolawuun
Ibnu Katsiir rahimahullah dalam kitabnya Al-Bidaayah wa An-Nihaayah bercerita tentang kisah Ibnu Taimiyyah.
Sulthon An-Nashir Ibn Qolawuun memiliki para petinggi dari kalangan para ulama bid’ah yang memusuhi Ibnu Taimiyyah, dan mereka berfatwa kepada sang Sulthoon agar membunuh Ibnu Taimiyyah. Akan tetapi sang sulthoon hanya memenjarakan Ibnu Taimiyyah dan tidak membunuhnya. Maka pada suatu saat datanglah Al-Jaasyinkir kemudian menggulingkan dan merebut kekuasaan sang Sulthoon. Akhirnya para petinggi tersebut berkhianat dan membelot meninggalkan sang sulthoon dan membai’at Al-Jaasyinkiir. Tentu hal ini membuat murka sang sulthoon. Maka sang sulthoon akhirnya berusaha merebut kembali kekuasaannya dan akhirnya ia berhasil. Ternyata para petinggi tersebut kembali kepada sang sulthoon, yang hal ini membuat sang sulthoon marah dan mengetahui bahwasanya mereka adalah para penjilat. Akhirnya sang suthoonpun mengeluarkan Ibnu Taimiyyah dari penjara dan menyambut Ibnu Taimiyyah dengan pernuh penghormatan di hadapan para petinggi tersebut yang pernah berfatwa untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Lantas sang sulthoon mengeluarkan secarik kertas dari kantongnya yang ternyata isi kertas tersebut adalah fatwa para petinggi tersebut untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Tentunya sang sulthoon sudah menyimpan dendam yang sangat besar, dan berharap agar Ibnu Taimiyyah berfatwa sebaliknya untuk membunuh para petinggi tersebut.
Ibnu Taimiyyah berkata, “Akupun faham maksud sang Sulthoon, dan aku tahu bahwasanya ia menyimpan dendam dan kemarahan yang sangat dalam terhadap para ptinggi tersebut, karena mereka telah membelot darinya dan membai’an Al-Jasyinkir…, maka akupun mulai memuji para ulama, yaitu para petinggi tersebut, dan menyebutkan jasa mereka, dan seandainya mereka pergi maka sang sulthoon tidak akan mendapatkan petinggi-petinggi yang seperti mereka”. Sang sulthoon berkata, “Mereka (para ulama dan petinggi) tersebut telah menyakitimu dan berulang-ulang ingin agar engkau dibunuh”. Ibnu Taimiyyah berkata, “Barangsiapa yang menyakitiku maka aku telah memafkannya, dan barangsiapa yang menyakiti Allah dan RasulNya maka Allah akan membalasnya, aku tidak akan membela diriku sendiri”. Akhirnya hilanglah kemarahan sang sulthoon. (Lihat kisah ini Al-Bidaayha wa An-Nihaayah 18/93-95 (tahqiq At-Turki) dan juga Al-‘Uquud Ad-Durriyyah hal 221)
Kisah kedua : Tatkala musuh beliau meninggal dunia
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih mengumpulkan sifat-sifat tersebut dari pada Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah (yaitu memafkan dan berbuat ihsan kepada orang lain). Sebagian sahabat senior Ibnu Taimiyyah berkata,
وَدِدْتُ أَنِّي لأَصْحَابِي مِثْلُهُ لأَعْدِائِهِ وَخُصُوْمِهِ
“Aku sangat berharap sikapku kepada sahabat-sahabatku sebagaimana sikap Ibnu Taimiyyah kepada musuh-musuh beliau”
Aku tidak pernah melihatnya mendoakan kejelekan kepada seorangpun dari musuh-musuhnya, bahkan beliau mendoakan mereka. Suatu hari aku mendatangi beliau member kabar gembira tentang meninggalnya musuh besarnya dan yang paling keras menentang dan menyakiti Ibnu Taimiyyah, maka beliaupun membentak aku dan mengingkari sikapku dan mengucapkan inaa lillahi wa inaa ilaihi rooji’uun. Lalu beliapun segera pergi menuju rumah keluarga musuhnya yang meninggal tersebut menyatkan turut berduka cita dan menghibur mereka dan berkata : “Sesungguhnya aku menggantikan posisinya bagi kalian. Karenanya jika kalian membutuhkan sesuatu dan bantuan maka aku akan membantu kalian” atau semisal perkataan ini, maka merekapun gembira dan mendoakan Ibnu Taimiyyah dan mereka menganggap ini perkara yang besar dari Ibnu Taimiyyah” (Lihat perkataan Ibnul Qoyyim ini di kitab beliau Madaarij As-Saalikiin 3/139-140)
Lihatlah bagaimana lapangnya hati Ibnu Taimiyyah, musuh besarnya yang sangat menentang dan paling menyakiti beliau tatkala meninggal maka Ibnu Taimiyyah segera menghibur keluarganya yang ditinggalkan. Bahkan Ibnu Taimiyyah membentak Ibnul Qoyyim yang bergembira dengan kematian musuhnya tersebut.
Kisah ketiga : Ibnu Taimiyyah dan Al-Bakri
Abul Hasan Nuurudiin Al-Bakri adalah salah seorang tokoh sufi yang membolehkan beristighotsah kepada Nabi setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang pemikirannya telah dibantah oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya “Al-Istighootsah fi Ar-Rod ‘alaa Al-Bakriy”. Al-Bakri telah menyatakan bahwa Ibnu Taimiyyah adalah seorang zindiiq bahkan terkadang ia mengkafirkan Ibnu Taimiyyah. Bahkan ia bersama pengikutnya telah mengeroyok untuk memukul Ibnu Taimiyyah. Tatkala orang-orang semakin banyak berkumpul melihat pengkeroyokan tersebut maka Al-Bakry pun kabur karena ketakutan. Akhirnya datanglah banyak orang dan juga tentara kepada Ibnu Taimiyyah meminta izin kepada beliau untuk menghukumi Al-Bakri akibat perbuatannya. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah berkata, “Aku tidak mau membela diriku”. Akan tetapi mereka tetap ngotot agar menghukumi perbuatan Al-Bakri. Akhirnya Ibnu Taimiyyah berkata, “Kalau bukan hak menghukuminya merupakan hak saya, atau merupakan hak kalian atau merupakan hak Allah. Jika hak tersebut adalah hak saya maka Al-Bakriy telah saya maafkan, dan jika hak menghukum adalah hak kalian maka jika kalian tidak mendengar nsehatku maka jangan meminta fatwa kepadaku, dan silahkan kalian melakukan apa yang kalian kehendaki. Dan jika hak adalah milik Allah maka Allah akan mengambil hakNya sesuai kehendakNya dan kapan saja Ia kehendaki”.
Maka tatkala kerajaan mencari-cari Al-Bakry untuk dihukum maka Al-Bakriy pun lari dan bersembunyi di rumah Ibnu Taimiyyah –tatkala beliau bermukim di Mesir- hingga akhirnya Ibnu Taimiyyah member syafaat agar Raja mengampuni Al-Bakriy, dan akhirnya iapun dimaafkan” (Silahkan lihat kisah ini di Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 14/76 (tahqiq Ahmad Fatiih, cet pertama, daarul hadiits Al-Qoohiroh) dan Adz-Dzail ‘alaa Tobaqoot Al-Hanaabilah 2/400)
Para pembaca yang budiman… sungguh akhlaq yang sangat mulia dari Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah. Tatkala tiba kesempatan baginya untuk membalas dendam justru ia malah memaafkan musuh-musuhnya dari kalangan Ahlul Bid’ah. Hal ini bahkan telah dipersaksikan dan diakui oleh musuh-musuhnya. Diantaranya ada yang berkata,
مَا رَأَيْنَا مِثْلَ ابْنِ تَيْمِيَّةَ، حرَّضنَا عَلَيْهِ فَلَمْ نَقْدِرْ عَلَيْهِ، وقَدِرَ عَلَينَا فَصَفَحَ عَنَّا، وَحَاجَجَ عَنَّا
“Kami tidak pernah melihat seorangpun seperti Ibnu Taimiyyah, kami berusaha untuk mengganggunya namun kami tidak mampu untuk menjatuhkannya, dan tatkala ia mampu untuk menjatuhkan kami maka iapun memaafkan kami bahkan membela kami” (Ini merupakan perkataan Ibnu Makhluuf, silahkan lihat Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 18/95 tahqiq At-Turki)
Itulah Ibnu Taimiyyah yang berjiwa besar, mengambil tindakan bukan dengan hawa nafsunya, akan tetapi dengan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini tidak mungkin bisa dilakukan kecuali oleh seseorang yang telah mengumpulkan keyakinan yang tinggi akan janji Allah dan kesabaran. Karena dengan dua sikap inilah (yakin dan sabar) maka seseorang akan meraih kepemimpinan dalam agama, sebagaimana yang telah diraih oleh Ibnu Taimiyyah. Beliu berkata dalam kalimat emasnya;
بِالصَّبْرِ وَالْيَقِيْنِ تُنَالُ الإِمَامَةُ فِي الدِّيْنِ
“Dengan kesabaran dan keyakinan maka akan diraih kepimimpinan dalam agama” (Al-Mustadrok ‘alaa Majmuu’ Al-Fataawaa 1/145)
Allah telah berfirman
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami (As-Sajdah ayat 24)
Para pembaca yang budiman… sungguh merupakan perkara yang sangat menyedihkan tatkala kita melihat diri kita atau sebagian kita yang sangat jauh dari akhlak orang yang kita kagumi ini yaitu Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah, yang seluruh hidupnya ia korbankan demi menegakkan aqidah dan manhaj salaf. Sungguh hati ini merasa sedih dan tersayat tatkala melihat sebagian kita mencela dan menghabisi sebagian yang lain diantara ahlus sunnah… lihatlah sikap Ibnu Taimiyyah terhadap Ahlul bid’ah yang memusuhi beliau… bahkan mengkafirkan beliau… bahkan mengroyok beliau…, ini sikap beliau terhadap Ahlul Bid’ah, bagaimana lagi sikap terhadap sesame ahlus sunnah. Ya Allah Engkau Maha Tahu bahwasanya kami para dai jauh dari sikap dan akhlaq tersebut, maka ampunilah kami Yaa Gofuur Yaa Rohiim.
Apa yang saya tuliskan ini bukan berarti saya mengingkari praktek hajr terhadap pelaku maksiat ataupun kepada ahlul bid’ah… semuanya tetap berlaku dengan menimbang antara maslahat dan mudhorot sebagaimana telah saya jelaskan dalam tulisan-tulisan saya yang lalu. Allahul Musta’aan (Silahkan lihat kembali http://www.firanda.com/index.php/artikel/manhaj/97-salah-kaprah-tentang-hajr-boikot-terhadap-ahlul-bidah-seri-2-hajr-bukan-merupakan-ghoyah-tujuan-akan-tetapi-merupakan-wasilah)
Penulis: Ustadz Firanda Andirja, MA
Artikel www. muslim.or.id
🔍 Pengertian Dosa Kecil, Hukum Takbiran, Doa Selepas Tahiyat Akhir, Oleh2 Umroh
Artikel asli: https://muslim.or.id/5757-menebar-kasih-sayang.html